Gereja Kristen Jawa Mijen Semarang

Terkait penyebaran virus Corona atau COVID-19, maka Ibadah yang diadakan dan dilaksanakan melalui ibadah ONLINE digunakan sebagai Ibadah Keluarga.... Majelis Gereja Kristen Jawa Mijen..... Selamat beribadah ..... Tuhan Yesus memberkati.

MASA PRA PASKAH 2020



Tema: “Percaya dan Katakanlah”

Diterbitkan oleh:
Lembaga Pembinaan dan Pengaderan

Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa dan Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah

Pengantar

Sejak puluhan tahun yang lalu, selalu ada saja bullying[1]/ perundungan yang dialami oleh anak-anak Kristen terkait dengan agamanya, paling tidak begitulah pengalaman penulis dan beberapa teman penulis. Bullying semakin menguat tatkala sekolah-sekolah negeri mulai didominasi oleh warna agama tertentu. Dominasi tersebut nampak melalui rumusan doa dari agama tertentu di saat upacara atau acara-acara bersama, juga melalui cara berpakaian. Hal ini terjadi pasca reformasi tahun 1998. Melaluinya Indonesia tidak hanya mengalami pembaruan di dalam tatanan pemerintahan, namun juga munculnya eforia kebebasan dimana-mana. Sel-sel radikalisme agama yang selama itu terbungkam seakan menemukan momentumnya untuk bangkit dan beraksi di bumi Pancasila.
Terkait radikalisme, menteri Pertahanan Republik Indonesia, Ryamizard Ryacudu (periode 2014-2019) meminta kepada semua pihak agar mewaspadai munculnya benih-benih radikalisme di lingkungan pendidikan.[2] Sementara itu, Komisi Nasional Perlin-dungan Anak juga pernah menyebutkan bahwa radikalisme sudah memasuki ruang kelas di sekolah-sekolah. Ironisnya, hal tersebut dilakukan oleh guru yang seharusnya mengajarkan bahwa paham tersebut berbahaya.[3]
Yang lebih mencengangkan lagi, survei yang dilakukan oleh Wahid Institute menyebutkan bahwa ada sebanyak kurang lebih 11 juta orang yang bersedia melakukan tindakan radikal, dan ada sekitar 600 orang yang pernah bertindak radikal.[4]
Dominasi agama tertentu di sekolah maupun di instansi peme-rintah sedikit banyak, sadar atau pun tidak, pasti berpengaruh secara psikologis bagi anak didik dan orang dewasa yang tidak seiman dengan agama tersebut. Selain itu, mereka yang meme-luk agama yang dominan tidak jarang menjadi semakin arogan dan mudah sekali mem-bully teman-temannya yang berbeda dengan dirinya. Dengan merebaknya radikalisme maka bullying pun menjadi semakin masif dan keras secara kontennya. Tidak hanya itu, dengan adanya kemajuan teknologi informasi, bullying tidak hanya terjadi face to face di dunia nyata tetapi juga person to person di dunia maya.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh sebuah lembaga survei dari universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebutkan bahwa ada sebanyak 10% kelompok anak muda yang setuju menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan boleh menggunakan kekerasan untuk membela agama. Yang signifikan dari penelitian tersebut adalah bahwa siswa dan mahasiswa yang radikal tersebut banyak beraktivitas di media sosial. Mereka yang aktif di media sosial tersebut cenderung lebih intoleran dibandingkan yang tidak mengakses internet. Kecenderungan tersebut terjadi karena mereka terpapar situs atau akun di sosial media yang beraliran intoleran maupun radikal yang biasanya lebih menarik dari sisi kontennya. Ini menunjukkan bahwa ada korelasi tentang cara beragama generasi milenial dengan sosial media.[5]
Maraknya “penyerangan” terhadap keyakinan kristiani pun begitu banyak terjadi di media sosial. Kita tentu ingat khotbah-khotbah atau ceramah-ceramah yang menimbulkan kegaduhan di dunia maya terkait dengan hal tersebut.[6] Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang  salib, Allah Tritunggal, Alkitab yang dianggap dipalsukan, dll. kadang membuat orang Kristen sendiri bingung ketika harus menjawab. Mereka yang bisa mengakses internet bisa mencari jawab melalui internet, karena selalu ada situs-situs kristiani yang menyerang balik. Tetapi ada banyak yang tidak bisa menemukan jawabnya.
Terkait hal tersebut, ada sebuah kisah nyata yang patut kita renungkan. Pada suatu kali ada sekelompok anak muda Kristen dari sebuah gereja berkunjung ke sebuah pondok pesantren, diantar oleh pendetanya. Dalam percakapan dengan para santri, ada seorang santri yang bertanya tentang doktrin Allah Tri-tunggal. Sontak anak-anak muda Kristen tersebut menjadi kaget dan kebingungan mau menjawab apa. Pada akhirnya tidak ada satu pun yang berani memberikan jawab. Bisa jadi mereka tidak percaya diri untuk menjawab, atau mungkin mereka tidak sungguh-sungguh paham tentang doktrin tersebut.
Berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh Tim Masa Paska 2020 pada saat memersiapkan bahan dasar ini, ternyata kegamangan seperti itu dialami oleh banyak anak muda Kristen. Bahkan kegamangan tersebut disinyalir menjadi penyebab begitu banyaknya orang Kristen yang dengan mudahnya berpindah agama dengan alasan menikah atau pun karena pekerjaan.  
Perlukah Berapologetika?
Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut, apa yang perlu kita lakukan? Tim Masa paska 2020 menyepakati bahwa apologetika sangat penting bagi jemaat/gereja. Jemaat/gereja diajak untuk tidak bersikap diam serta acuh tak acuh terhadap realita ini. Jemaat/Gereja harus berbenah diri untuk dalam segala waktu mampu memberikan jawab atas iman yang dipegangnya. Surat 1 Petrus 3: 15-16 menyatakan, “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertangungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.” Ayat tersebut tidak hanya berbicara tentang dasar Alkitab tentang perlunya apologetika, tetapi juga tentang etika berapologetika. Dengan demikian apologetika yang santun/kristiani sangat penting untuk dihidupi, dikembangkan dan diajarkan di jemaat/gereja.
Apologetika dalam Kilasan
Istilah “apologetika” berasal dari bahasa Yunani “apologia”, yang berarti “pembelaan”. Di dalam Alkitab, kata apologia dipakai sebanyak 8 kali (Kis 22:1; 25:16; 1 Kor 9:3; 2 Kor 7: 11; Fil 1:7, 16; 1 Pet 3:15). Sedangkan kata apologeomai (membela) muncul sebanyak 10 kali (Luk 12:11; 21:14; Kis 19:33; 24:10; 25:8; 26:1,2,24; Rom 2:15; 2 Kor 12: 19).
Dari ayat-ayat tersebut nampak bahwa kata apologia atau apologeimai bisa berhubungan dengan pembelaan secara hukum, pribadi maupun doktrinal. Dalam perkembangan selanjutnya istilah apologia dipakai sebagai istilah teknis untuk aktivitas membela iman Kristen. Melalui apologia/apologetika orang Kristen berusaha memberikan penjelasan maupun jawaban terhadap kritik dan kesalahpahaman pihak luar. Oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah apologetika diartikan sebagai “uraian sistematis untuk mempertahankan suatu ajaran”. Sedangkan apologia diartikan sebagai “pembelaan agama”.
Di dalam sejarah gereja kita melihat bahwa kegiatan apologetika/ apologia sudah dimulai oleh para rasul dan diteruskan di sepan-jang sejarah gereja. Pada saat itu para bapa gereja berusaha memberikan pembelaan terhadap para pengajar sesat maupun pemerintah Romawi yang menganiaya orang Kristen. Mereka yang melakukan apologetika/apologia tersebut disebut sebagai “kaum apologetis”, misalnya Yustinus Martir, Clement dan Agustinus.
Aktivitas apologetika/apologia terus berlanjut pada zaman skolastik, dimana filsafat berkembang begitu pesat. Pada zaman itu para pemikir Kristen mulai menghadapi situasi baru. Pembelaan iman mereka lebih bersifat filosofis. Teologi dan filosofi pada saat itu mulai berebut tempat sebagai ilmu utama. Tokoh apologetis terkenal pada masa itu misalnya Thomas Aquinas, Anselmus, Dons Scotus, dan William Ocham.
Adapun pada zaman reformasi para reformator juga melakukan pembelaan iman. Martin Luther menempelkan 95 dalil di pintu gerbang gereja Wittenberg Jerman dan mengundang siapa saja untuk berdebat dengan dia, baik secara lisan maupun dengan tulisan. Pada saat itu Luther membela ajaran Alkitab terhadap ajaran Katholik yang dianggapnya menyimpang. Selain itu Yohanes Calvin juga membuat buku Institutio edisi pertama untuk membela orang Kristen yang pada saat itu dianiaya oleh pemerintah Perancis.
Pada periode berikutnya, aktivitas apologetika semakin diperlu-kan karena semangat zaman yang dikuasai oleh sekularisme serta berbagai isu kontemporer, misalnya ateisme (tidak ada Allah), deisme (Allah tidak mengontrol ciptaan-Nya), rasio-nalisme (yang dianggap benar hanyalah apa yang bisa dipahami oleh akal), serta empirisisme (kebenaran harus bisa diulang-ulang). Sejumlah apologet kristen ternama, misalnya Cornelius van Til, C.S. Lewis, Francis Schaeffer, Norman Geisler, Josh McDowell, William Lane Craig, Gleason L. Archer, Oswald T. Allis, Paul Feinberg, John Frame, dan R.C. Sproul. Selanjutnya perubahan kehidupan sosial keagamaan serta adanya perkembang-an teknologi informasi dan revolusi industri 4.0 pada masa kini juga ternyata menuntut kita untuk kembali melakukan upaya apologetika.
Masa Paska 2020: Masa Berapologetika
Berdasarkan uraian di atas, Tim Masa Paska mengajak jemaat/ gereja untuk menjadikan Masa Paska 2020 ini sebagai masa untuk melakukan upaya-upaya apologetika. Diharapkan agar khotbah-khotbah bukan sekadar khotbah biasa/umum, tetapi dikemas dalam bentuk “khotbah pengajaran”, demikian pula bahan Persekutuan Doa, Pemahaman Alkitab, dll. Tujuannya adalah dalam rangka memersiapkan umat agar mampu berapologia/ berapologetika.
Melalui ajakan ini, kita diingatkan kembali pada hakikat Masa Paska sesungguhnya, yaitu masa dimana jemaat/gereja diajak untuk menghayati kembali dasar-dasar Kekristenan secara lebih intensif. Salah satu dasar Kekristenan adalah Paska. Paska, perayaan Kristus yang bangkit, bahkan menjadi inti iman Kristen. Tanpa kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus maka sia-sialah iman kita, kata Rasul Paulus (1 Kor 15:14, 20). Itulah mengapa Masa Paska pada zaman dahulu disebut sebagai “Masa Penghayatan Dasar Kekristenan“.
Terkait dengan apologetika, kita dapat menemukan dasar-dasar Alkitabiahnya juga dari bacaan-bacaan Alkitab yang dipakai oleh daftar bacaan Leksionari di Masa Paska 2020 ini. Misalnya narasi Injil Matius 4:1-11 dalam Ibadah Minggu Pra-Paska jelas menunjukkan bagaimana Yesus berapologetika. Demikian juga dalam proses menuju salib dan pada saat disalib, kita melihat bagaimana Yesus tidak pasif dalam menghadapi segala dera yang ditujukan kepada-Nya. Ia bahkan melakukan pembelaan keyakinan sampai titik darah penghabisan. Sebuah pembelaan yang didasari kasih. Tidak hanya itu, para perempuan yang menjadi saksi pertama kebangkitan Tuhan Yesus (Mat 28: 1-10) pun memberitakan peristiwa kebangkitan itu dengan semangat. Meski saat itu mereka berada di bawah tekanan diskriminasi gender, tidak dipercaya karena ke-perempuan-annya. Para perempuan itu menyaksikan sendiri peristiwa kebangkitan itu, percaya dan kemudian memberitakan (mengatakannya) kepada orang lain. Berdasarkan ayat-ayat Alkitab tersebut, maka tema Masa Paska 2020 adalah “Percaya dan Katakanlah”.
Penutup
Di tengah situasi zaman yang menuntut umat Kristen untuk berapologetika, jemaat/gereja mestinya melakukan segala daya upaya agar umatnya mampu berapologetika secara cerdas dan elegan. Dengan kata lain, umat dibekali untuk mampu bersaksi tentang imannya. Bersaksi tanpa harus menyakiti, yaitu menya-kiti perasaan keber-agama-an orang lain.
Untuk bisa memberi kesaksian tersebut maka yang diperlukan tidak hanya pengetahuan tentang iman Kristen tetapi juga bahwa spiritualitas kristiani mesti dihidupi dengan sungguh-sungguh dan tekun. Dialog-dialog non-formal tentang iman Kristen perlu dilakukan untuk semakin menambah dialog-dialog yang terjadi di kelas-kelas katekisasi. Bahkan dialog-dialog non-formal tersebut mesti menjadi gaya hidup komunitas Kristen, baik itu di dalam keluarga maupun komunitas-komunitas yang ada di jemaat/gereja maupun di dalam kelompok kristiani (di sekolah, tempat kerja, dll.). Inilah juga yang dimaksudkan oleh Ulangan 6:6-8.
Melalui serta bertitik tolak dari Masa Paska ini kiranya dialog-dialog tentang iman Kristen diharapkan tidak hanya terjadi di bangku katekisasi, tetapi juga melalui sarana-sarana yang lain. Salah satunya, Gereja bisa memakai Persekutuan Doa dan atau Pemahaman Alkitab intergenerasional. Melalui keduanya, dialog antar generasi bisa terjadi, baik dalam komunitas keluarga maupun dalam komunitas kecil (Komunitas Bina Iman atau Kelompok Tumbuh Bersama).
Selain menjadi sarana dialog iman, Masa Paska juga menjadi masa dimana orang Kristen belajar mendisiplin diri melalui bentuk-bentuk puasa yang dipilihnya. Melalui semua itu, diharapkan spiritualitas umat dibangun dan dikembangkan. Dengan demikian, umat menjadi semakin percaya dan berpegang pada imannya serta mampu bersaksi tentang imannya kepada orang lain. Umat akan mampu berapologetika secara santun, tanpa menyakiti hati orang lain (1 Petrus 3: 15-16). Amin.
[mh]

[1] Cicilia Tanti Utami dalam acara Studi PWG yang diselenggarakan oleh LPP Sinode pada tanggal 23 November 2019 mendefinisikan bullying (dengan menyitir Olweus, 1997, 2001, Salmivalli, et, al 2011) sbb.:
  • Perilaku kekerasan (verbal, fisik, psikis) yang sengaja dilakukan untuk menyakiti/ menakut-nakuti.
  • Dilakukan berulangkali dan setiap waktu
  • Ada ketidakseimbangan kekuatan/kekuasaan

SILAHKAN DOWNLOAD DIBAWAH INI: