KWD
KUASA ALLAH SUMBER DAMAI
SEJAHTERA
Bahan PA Dewasa
Natal
Matius
2:1-23
1.
Pengantar
Setiap
orang mendamba hidup bahagia, adil dan sejahtera, lahir dan batin. Termasuk
kita, umat Kristiani di bumi Indonesia memiliki cita-cita, impian dan harapan
yang sama. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera itu, perlu
perjuangan dan daya upaya, agar setiap dambaan tidak berhenti pada impian
melainkan terwujud sebagai kenyataan. Dan upaya mewujudkan ini perlu dilakukan
bersama-sama sebagai kesatuan anak bangsa seluas-luasnya.
Salah
satu upaya yang dapat kita lakukan adalah mulai membangun kesadaran secara
terus-menerus akan penggunaan kekuasaan dalam berbagai bentuknya, di mana saja
dan kapan saja. Tujuan dari pembangunan kesadaran ini adalah untuk menjaga agar
kekuasaan itu dipergunakan sedapat mungkin untuk dalam rangka hidup yang damai
sejahtera, selaras dan seturut dengan kehendak dan bela rasa Allah bagi manusia
dan semesta.
Injil
Matius yang berkisah tentang peristiwa yang melingkupi kelahiran Yesus Kristus
di pasal 2, menjadi penolong kita dalam memaknai dan memperbaharui hidup kita yang
tidak pernah lepas dari pergumulan tentang penggunaan kekuasaan, baik selaku
subyek, obyek ataupun sebagai penyerta pelengkap penderita.
2.
Berbagi Pengalaman
a. Pernahkah
Anda mendapat ancaman atau perlakuan tidak menyenangkan dari atasan atau orang
yang memiliki kekuasaan padahal Anda (merasa) benar? Apa yang Anda rasakan?
Bagaimana reaksi Anda?
b.
Mengapa
itu bisa terjadi?
c.
Apa
yang Anda pahami tentang penggunaan kekuasaan?
3. Mendengarkan
Firman
a. Membaca Matius 2:1-23
b. Membaca dan atau mendengarkan
uraian/renungan di bawah ini:
“Power tends to
corrupt. Absolut power corrupts absolutely.” Artinya, kekuasaan cenderung merusak.
Dan kekuasaan yang mutlak, merusak secara dahsyat. Demikianlah pernyataan Lord Acton, sejarawan Inggris di abad
19. Meskipun telah diungkapkan berabad lampau, nampaknya kebenaran pernyataan
ini mampu menembus ruang dan waktu. Sejarah umat manusia telah dipenuhi dengan
banyak contoh tentang hal ini. Sejak dulu hingga kini telah terjadi korupsi,
bukan hanya tentang uang, melainkan juga terjadi penyalahgunaan wewenang dan
kebijakan. Dalam kacamata umum, terdapat praduga relasi timbal balik antara
uang dan kekuasaan: Uang dapat ‘membeli’ kekuasaan. Dan sebaliknya, kekuasaan
dapat digunakan untuk ‘mencetak’ uang. Bisa jadi sesederhana itu relasinya,
meskipun belum tentu demikian senyatanya.
Menurut Brench dan
Raven sebagai teoritikus tentang
teori kekuasaan, terdapat lima sumber kekuasaan (1959) secara klasik, yang
dapat digunakan untuk menganalisa kekuasaan pada berbagai organisasi, baik
kekuasaan yang melekat pada birokrasi
kenegaraan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan. Di kemudian hari,
dikembangkanlah oleh para pakar teori ini menjadi tujuh hingga sepuluh sumber
kekuasaan, yang digolongkan menjadi dua. Yaitu berdasar kedudukan dalam organisasi dan berdasar
kualitas individual. Berikut ini
uraian singkat tentang teori tujuh sumber
kekuasaan[1]:
Golongan pertama, berdasar kedudukan atau jabatan:
a. Coersive
Power:
Kekuasaan berdasar rasa takut, dengan menggunakan ancaman dan hukuman.
Kepatuhan anak buah terjadi karena takut dipecat atau diancam tidak naik gaji.
b. Reward
Power:
Kekuasaan berdasarkan kemampuan memberi penghargaan, bonus, kenaikan gaji dan lain sebagainya.
Kepatuhan anak buah terjadi karena diberi berbagai apresiasi, misalnya
tunjangan kesejahteraan.
c. Legimate
Power:
Kekuasaan berdasar kedudukan dalam struktur organisasi formal. Wewenang, hak
dan fasilitas dimiliki karena kedudukan dalam struktur organisasi secara
formal.
Golongan kedua berdasar kualitas yang dimiliki individu:
d. Expert
Power:
Kekuasaan berdasar keahlian khusus atau kepakaran profesional yang dimiliki.
e.
Referent Power: Kekuasaan berdasar dari daya
tarik personal, karena penampilan (gagah
atau cantik) atau kecerdasan interpersonal yang membuat orang lain terpesona
atau terinspirasi.
f.
Connection Power: Kekuasaan berdasar kedekatan
relasi atau berkerabat dengan orang yang memiliki kekuasaan (nepotisme).
g. Information
Power: Kekuasaan
berdasar akses kepemilikian sumber data atau informasi yang dimiliki.
Dengan segala macam jenis kekuasaan sebagaimana disebutkan
di atas, orang lain dapat dipengaruhi demi suatu tujuan tertentu, yang baik
ataupun jahat. Bagi sebagian orang memang begitu menggiurkan. Begitu kuatnya
daya tarik kekuasaan sehingga tanpa disadari, justru hasrat kekuasaanlah yang
berkuasa menguasai orang itu, sehingga ia ingin selalu berkuasa. Terus dan
terus ingin berkuasa sambil kehilangan akal sehatnya. Dan Injil Matius mengukir
nama salah satu tokohnya: Herodes!
Karena raja maka Herodes masuk golongan pertama, sumber
kekuasaannya berdasar kedudukan atau jabatan, berjenis coersive power, yaitu memerintah dengan menebar ketakutan. Herodes
menjadi raja sekitar tahun 37 SM atas Yudea, Galilea, Samaria dan daerah
sebelah Timur Sungai Yordan, atas bantuan Kaisar Roma dan disebut Herodes yang
Agung. Ia berasal dari Idumea, Edom. Oleh karena itu tidak disukai orang
Yahudi. Ia membangun kota Kaisarea, Yerikho, dan terutama Bait Allah untuk
mengambil hati orang Yahudi
Orang Majus memiliki sumber kekuasaan expert dan information power.
Ketika mereka sebagai ahli perbintangan dari daerah Timur datang ke istana
Herodes, dan percaya bahwa munculnya bintang yang terang adalah tanda lahirnya
seorang pemimpin besar, ternyata keahlian dan pengetahuannya tentang
perbintangan itu membuat Herodes Agung sangat terancam kedudukan, kekuasaan dan
hidupnya.
Para imam kepala dapat dikategorikan sumber kekuasaannya legitimate power. Sedangkan ahli Taurat
bersumber kuasa expert dan information power. Sehingga Imam-imam
kepala yang bertugas di Bait Allah dan para ahli Taurat selaku cendekiawan
diundang untuk memberi keterangan mengenai raja orang Yahudi yang baru lahir
itu.
Di sini Herodes kemudian ia bersiasat dan berkata kepada Orang
Majus, "Pergi dan selidikilah dengan
seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia,
kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia" (ayat 8).
Siasat sebagai sinyal keterancaman itu tampak, ketika Orang Majus akhirnya
tidak kembali kepadanya dan pulang menempuh jalan lain dan ia merasa diperdaya
lalu marah dan memerintahkan pembunuhan semua anak di Betlehem dan sekitarnya
yang berumur dua tahun ke bawah (ayat 16).
Herodes dengan jelas menampakkan wajah kekuasaan yang
sewenang-wenang dan sangat kejam. Tindakan Herodes mengakibatkan kesedihan yang
mendalam dan penderitaan yang berkepanjangan bagi para korban. Ibu yang
kehilangan anak-anaknya, ("Terdengarlah
suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih...”), pengungsian keluarga
Yusuf ke Mesir dan baru kembali ke Israel pada jaman Arkhelaus.
Dalam episode awal ini, Herodes juga digambarkan telah
membangun kerja sama dengan pihak yang semestinya berseberangan, yaitu
Imam-imam kepada dan para ahli Taurat. Ungkapan sinisme bahwa tidak ada kawan abadi, yang ada adalah
kepentingan abadi, dipertontonkan di sini. Nanti, akan muncul kembali
menjelang kisah penangkapan dan sengsara Yesus (22:16, 27:1-26).
Dalam pandangan teori kekuasaan di atas, Yusuf bersama
keluarganya tidak memiliki sumber kuasa, powerless.
Namun dalam pandangan penulis Injil, Yusuf beserta keluarga digambarkan justru
berada dalam kuasa Allah.
Dengan jelas pula kisahkan bahwa kuasa Allah menggagalkan
rencana Herodes untuk membunuh bayi Yesus. Ia menuntun orang Majus lewat mimpi
untuk tidak kembali kepada Herodes (2:22), mengutus malaikat-Nya untuk memberi
tahu Yusuf agar lari ke Mesir sampai Herodes mati (2:13,14,19), kemudian Yusuf
ke Israel (2:19-21) dan tinggal di Nazaret (2:22-23)[2].
Tampak dua kuasa yang saling berhadapan: kuasa Herodes yang
mematikan versus kuasa Allah yang menyelamatkan. Herodes yang memiliki
sumber-sumber kekuasaan ternyata tidak mampu meraih bayi Yesus karena campur
tangan Allah. Nyatalah keberpihakan Allah bagi yang terancam kehidupannya.
Allah berbelarasa bagi pihak yang lemah, yang tidak memiliki kekuasaan.
Injil Matius 2 sering disebut midras, suatu pembacaan ulang kisah Musa dan Israel dalam riwayat
Yesus. Seperti Musa, Yesus diselamatkan dan mengungsi dari wilayah raja yang
jahat, sementara anak-anak lain dibunuh. Seperti Musa, Yesus pulang dari
pengungsian setelah orang yang mau membunuhnya sudah mati. Seperti umat Israel,
Yesus dipangil keluar dari tanah Mesir untuk masuk Israel. Perjalanan Yesus
dituntun menurut rencana Allah seperti perjalanan bangsa Israel.[3]
Secara khusus Injil Matius memang ditulis untuk meneguhkan
iman orang Kristen yang pada waktu itu melemah, baik orang Kristen yang berasal
dari bangsa Yahudi maupun non-Yahudi karena Kaum Farisi menyerang keabsahan
Yesus setelah Bait Allah runtuh tahun 70 M. Oleh karena itu, di dalam Injil
Matius banyak kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama untuk menunjukkan posisi
Yesus dalam rencana penyelamatan Allah bagi semua bangsa, dirunut mulai sejak
nenek moyang bangsa Israel yaitu Abraham sampai kehadiran orang-orang Majus
(yang dianggap kafir dalam pandangan elit Yahudi ketika itu).[4]
Selain itu Injil Matius 2 ini juga mengungkapkan sinyal-sinyal antisipatif apa
yang akan terjadi pada kisah-kisah berikutnya. Misalnya, pertama keterlibatan
Orang Majus sebagai orang non-Yahudi untuk memberi tanda bahwa perutusan misi
Yesus juga bagi segala bangsa, bukan hanya bangsa Yahudi. Kedua, istilah Raja Orang Yahudi muncul untuk
mempersiapkan pembaca pada kisah penyaliban Yesus disalibkan dengan tulisan
INRI , yang berarti inilah Yesus Raja Orang Yahudi. Ketiga, persekongkolan
Herodes, imam-imam kepala dan ahli Taurat yang semestinya bermusuhan,
mempersiapkan pembaca bahwa nantinya, golongan yang berbeda latar belakang itu
akhirnya dapat bersatu untuk melawan musuh bersama, yaitu Yesus (22:16).
Apakah dengan demikian kekuasaan yang ada pada manusia itu
senantiasa jahat dan terpisah serta berlawanan dengan kekuasaan Allah yang
senantiasa baik? Jawabannya tentu tidak. Kekuasaan yang ada pada manusia itu
berguna sejauh untuk mengelola berbagai kepentingan agar tumbuh kehidupan
bersama yang damai dan sejahtera. Kekuasaan yang demikian tidak perlu
dipertentangkan dengan kuasa Allah, dan tidak perlu ditolak. Dan sudah
semestinya kekuasaan yang ada pada manusia memang digunakan untuk menghadirkan
damai dan sejahtera. Jika kekuasaan ditujukan untuk menghadirkan damai
sejahtera, maka Allah hadir didalamnya.
Damai sejahtera diterjemahkan dari kata syalom. Dan kata syalom
sering diucapkan sebagai sapaan di awal acara persekutuan-persekutuan kita.
Namun apakah artinya? Syalom pada umumnya diterjemahkan sebagai damai, selamat
atau sejahtera. Secara lebih komplet dan konkret, syalom berarti sehat walafiat
tidak sakit (Mzm 38:4), panen berlimpah dan kesuburan dan kemakmuran (Mazm
37:11). Syalom berarti umur panjang dan hidupnya bermakna (Kej 15:15),
terhindar dari ancaman bahaya (Hak 6:23), berhasil (Hak 18:5-6), kabar
pembebasan (Yes 52:7), hidup dalam kebenaran dan keadilan (Yer 33:8-14,
54:11-17) Syalom juga berarti hidup rukun dalam hubungan yang baik dengan orang
lain (Hak 4:17, 1Sam 20:42). Syalom berarti tidak terganggu oleh penyakit,
malapetaka, keributan, kekerasan dan perpecahan. Syalom berarti sentosa dan
sejahtera dalam hidup sehari-hari. Jadi, kata syalom berarti keadaan (bukan
perasaan) damai sejahtera dalam arti selus-luasnya. Syalom bukan hanya urusan
diri sendiri sendiri, tetapi juga menjadi urusan bersama (Yer 29:7). Bukan
hanya diharapkan, melainkan juga perlu diperjuangkan. Syalom berkaitan dengan
yang jasmani maupun rohani, duniawi
maupun dan sorgawi. Darimanakah syalom itu berasal? Syalom bersumber dari
Tuhan, rancangan-Nya adalah syalom (Yer 29:11) dan Tuhan adalah syalom itu
sendiri (Hak 6:24)[5].
Natal adalah peristiwa hadirnya damai sejahtera Allah, yang
berbela rasa bagi pihak yang lemah tidak
berdaya.
4.
Memaknai ulang dan
memperbaharui hidup
a. Setelah mendengarkan Firman
tentang makna kekuasaan dan peran Allah yang berbela rasa kepada yang lemah
karena Ia adalah Sumber Syalom, bagaimana pemahaman dan perasaan Anda sekarang?
b. Apa yang akan Anda lakukan
untuk mewujudkan damai sejahtera di bumi Indonesia yang beragam agama, suku,
bangsa, bahasa dan partai politik?
(
tpa)
[1]
Soekarso Iskandar Putong, Kepemimpinan:
Kajian Teoritis dan Praktis, 2015, hlm. 27-30, mengungkapkan sepuluh sumber kekuasaan hasil ringkasan dari
beberapa pakar. Dan untuk keperluan di sini, diringkas lagi menjadi tujuh
sumber kekuasaan.
[2]
Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Cerita: Berkenalan dengan Narasi
Salah satu Injil, BPK, 1996, hlm. 66.
[3]
Martin Harun, OFM, Matius: Injil Segala Bangsa, Kanisius, 2017, hlm. 54-65
[4]
Surip Stanislaus, Rahasia dibalik kisah
Natal 1, Kanisius, 2007, hlm. 44-45.
[5]
Andar Ismail, Selamat Sejahtera, Syalom, BPK, 2012, hlm. 4-7