Gereja Kristen Jawa Mijen Semarang

Terkait penyebaran virus Corona atau COVID-19, maka Ibadah yang diadakan dan dilaksanakan melalui ibadah ONLINE digunakan sebagai Ibadah Keluarga.... Majelis Gereja Kristen Jawa Mijen..... Selamat beribadah ..... Tuhan Yesus memberkati.

KEGIATAN PERSEKUTUAN BLOK (Apakah Dunia Hanya Pasar?)



Bahan PA Dewasa 1

Bacaan Alkitab:
Yohanes 2:13-22



PENGANTAR
Judul “Apakah Dunia Hanya Pasar?” ditulis oleh Jean Vanier dalam salah satu bab dari bukunya Tenggelam Dalam Misteri Yesus. Dengan menyebut pasar maka dunia menjadi tempat perebutan. Itulah yang kita saksikan saat ini. Dunia menjadi ruang perebutan kekuasaan. Dengan kekuasaan, orang berang-gapan segala hal bisa direguk dari dunia ini. Kalaupun relasi dijalin semuanya diukur dengan transaksi keuntungan belaka. Dunia semacam itulah yang kita hidupi saat ini. Dalam dunia semacam ini, jabatan, pangkat, kekayaan, dan kelompok mayoritas memiliki posisi tawar yang tinggi. Itu sebabnya diperebutkan dengan berbagai cara. Karena dunia adalah pasar, yang dikejar adalah keuntungan. Spiritualitas pun diukur dari pencapaian atau kedudukan.

Yesus mengajarkan dunia sebagai altar. Hidup adalah memper-sembahkan yang terbaik bagi Tuhan dan bagi kemanusiaan. Itu sebabnya Yesus rela berkorban, mengikuti jalan Tuhan yang menyesakkan. Itu pula yang membuat-Nya dikuasai kemarahan yang menyala-nyala, kala ibadah hanya sebatas keuntungan materi belaka.


Langkah 1:
Pernah mendengar istilah Holy Land, tanah suci atau tanah kudus? Apakah Anda pernah pergi ke sana? Apakah sepulang dari Holy Land Anda merasa lebih holy, lebih suci, atau lebih kudus?
Langkah 2:
§  Apakah Anda pernah membaca iklan tentang Holy Land yang menjanjikan akan menumbuhkan iman peziarah? Apa komentar Anda tentang iklan semacam itu?

§  Jika Holy Land membuat manusia menjadi lebih holy (suci), maka menumbuhkan iman adalah hal yang mudah. Cukup dengan sejumlah uang dan pergi ke Holy Land Anda akan menjadi pribadi yang lebih suci. Bagaimana pendapat Anda dengan pernyataan ini?

Langkah 3:
Bacalah Yohanes 2: 13-22 dengan cermat dan tidak tergesa-gesa, nikmatilah setiap kata yang disampaikan oleh penginjil.

Bacaan Injil kita bertutur tentang keadaan di Yerusalem, kota suci itu, saat hari raya Paska berlangsung! Apa yang Anda bayangkan – mungkin itu juga yang Yesus bayangkan – keada-an kota suci itu saat perayaan penting berlangsung? Secara imajinatif kita mungkin membayangkan suasananya seperti “surga.” Orang hiruk pikuk dalam kekhusukan doa di rumah Allah. Namun apa yang Yesus temukan? Ayat 14 mengatakan: “Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang du-duk di situ.” Yesus menemukan pasar, bukan altar! Kegaduhan perdagangan, bukan gumam doa peribadahan.

Itu sebabnya refleksi Jean Vanier benar dengan mempertanya-kan realitas Rumah Allah itu dengan kalimat menohok: “Apa-kah Dunia Hanya Pasar?” Dalam refleksi itu kemarahan Yesus menjadi mudah kita pahami. Dengan melihat realitas Bait Allah, pusat kehidupan iman saat itu, dunia telah menjadi pasar. Bagaimana tidak? Jika pusat iman saja berjibaku mencari keuntungan materi dan kekuasaan, bagaimana dengan dunia ini? Kehidupan telah dinilai dan diukur dengan transaksi berbasis keuntungan.
Dalam dunia pasar, yang dikejar manusia adalah: Kekuasaan, kekayaan, dan kemasyuran. Persaingan dilakukan dengan keras bahkan kejam, homo homini lupus. Menariknya persaingan ini juga merambahi dunia spiritual, termasuk gereja! Kedudukan sebagai ketua di lembaga keagamaan yang dianggap bergengsi telah menjadi perebutan yang jauh dari nilai kristiani. Mereka yang jago lobi, mau berbagi kursi, berjanji memberikan jatah dukungan finansial, bahkan sudah memberikan sejumlah uang (dengan embel-embel: uang transport, uang rapat, dan lain-lain) seringkali lebih mudah mendapatkan kursi ketua. Soal integritas, kompetensi, apalagi spiritualitas tak lagi menjadi persoalan. Dunia telah menjadi pasar! Hal ini makin meneguh-kan apa yang disebut dengan homo economicus, ekonomi yang mengatur kehidupan.  

Cara beragama pun sarat dengan cara berpikir semacam itu. Banyak orang keluar dari gerejanya dengan mengatakan, “Di sini saya enggak mendapat apa-apa. Liturginya membosankan, khotbahnya tidak menarik.” Tentu perasaan ini tidak keliru dan harus mendapat perhatian dari pemimpin jemaat. Tetapi perha-tikan baik kata kuncinya “enggak mendapat apa-apa” menun-jukkan betapa cara pikir transaksional telah menguasai kehi-dupan iman kita. Pula keluhan tidak diperhatikan, tidak dikun-jungi saat sakit padahal sudah memberikan persembahan, dan sebagainya menunjukkan paradigma transaksional telah menguasai hidup beragama kita.

Sekali lagi ini bukanlah berarti kita tidak boleh kritis terhadap realitas. Sebaliknya kita harus kritis dengan cara mempersem-bahkan hidup bagi komunitas agar kebaikan bagi semua terjadi. Kemarahan Yesus menunjukkan Ia kritis. Kemarahan Yesus pasti mengundang antipasi bahkan kebencian dari mereka yang kehilangan keuntungan finansial. Dalam Injil dikatakan, “Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya” (Yoh 2:15). Kemarahan Yesus semacam ini hanya kita temukan dalam cerita ini. Inilah cara Yesus mempersembahkan diri hingga rela dibenci, untuk kemudian menanggung derita dan mati, demi nilai yang diperjuangkan-Nya. Nilai itu berangkat dari ketaatan kepada Bapa dan kecintaan pada sesama.

Apakah Yesus membenci kekayaan? Tidak! Yesus tidak anti kekayaan. Ia tidak membenci Zakeus, orang kaya hasil memu-ngut cukai rakyat. Ia mengasihi orang muda yang kaya. Tetapi bagi Yesus kekayaan bukanlah tujuan. Kekayaan adalah alat yang dipakai untuk melakukan kehendak Allah. inilah yang dimaksud dengan pernyataan hidup adalah altar. Karena hidup adalah altar, maka hidup berarti mempersembahkan yang terbaik dari diri kita bagi Tuhan dan sesama. Hidup sebagai altar tidak meletakkan keuntungan sebagai dasar, melainkan kesediaan untuk berbagi.

Di sini kita menemukan, bahwa bukan materinya (atau kekaya-annya) yang salah. Materi pada dirinya sendiri netral, benda biasa. Tetapi motivasi manusia yang mengubahnya. Itulah sebabnya Yesus mengatakan: “rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” Bagi Yesus bukan soal jualannya, tetapi – dalam Bahasa Injil lain – rumah doa telah berubah menjadi rumah penyamun.

Itulah sebabnya, Yesus mengajak para pendengar berefleksi tentang keberadaan apa yang kerap dianggap Bait Allah. kata Yesus, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (ay. 19). Ayat 21 kemudian memberi-kan penjelasan maksud perkataan Yesus itu: “Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah Tubuh-Nya sendiri.” Itu berarti Yesus mengajak kita untuk mengubah makna Bait Allah, dari sekadar sebuah tempat yang mati menjadi tempat yang hidup. Dari yang struktural menjadi fungsional. Hal ini ditegaskan kembali oleh Yesus dalam Yoh 4:24  “Allah itu Roh
dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” Dengan menyatakan itu, bagi Yesus tidak ada sebuah tempat yang disebut Bait Allah, rumah Allah, atau Holy Land. Sebab semua tempat, setiap jengkal adalah rumah Allah. Tidak ada tempat yang kudus, yang ada adalah kehidupan yang kudus. Kekudusan bukan pada lokasi, tetapi pada cara hidup. Cara hidup yang dimaksud adalah mempersembahkan diri karena ketaatan kepada Allah dan kecintaan pada semasa.

Langkah 4:
Apakah Anda melihat kehidupan transaksional pada kehidupan orang beragama saat ini? Apakah gereja juga dikuasai oleh pasar? Bagaimana menghidupkan semangat altar dalam kehi-dupan bergereja?

Langkah 5:
Ada kisah seorang perempuan bernama Oseola McCarty. Ia hidup bekerja keras dengan menjadi pembantu rumah tangga. Prinsip hidupnya adalah menabung berapapun yang ia dapatkan. Alhasil di hari tuanya ia berhasil mengumpulkan uang sebanyak US $ 150.000. Uang sebanyak itu kemudian disumbangkan untuk menunjang pendidikan kaum muda di University  of Southern Mississippi.

Contoh hidup di atas menunjukkan bahwa cara berpikir altar masih ada di sekitar kita. Bagaimana dengan Anda?