gereja kristen jawa mijen semarang
KEGIATAN PERSEKUTUAN BLOK (Apakah Dunia Hanya Pasar?)
Bahan PA Dewasa 1
Bacaan Alkitab:
Yohanes 2:13-22
PENGANTAR
Judul “Apakah Dunia Hanya Pasar?”
ditulis oleh Jean Vanier dalam salah satu bab dari bukunya Tenggelam Dalam
Misteri Yesus. Dengan menyebut pasar maka dunia menjadi tempat perebutan. Itulah
yang kita saksikan saat ini. Dunia menjadi ruang perebutan kekuasaan. Dengan kekuasaan, orang berang-gapan segala hal bisa
direguk dari dunia ini. Kalaupun relasi dijalin semuanya
diukur dengan transaksi keuntungan belaka. Dunia semacam itulah yang kita
hidupi saat ini. Dalam dunia semacam ini, jabatan, pangkat, kekayaan, dan kelompok
mayoritas memiliki posisi tawar yang tinggi. Itu sebabnya diperebutkan dengan
berbagai cara. Karena dunia adalah pasar, yang dikejar adalah keuntungan.
Spiritualitas pun diukur dari pencapaian atau kedudukan.
Yesus mengajarkan dunia sebagai
altar. Hidup adalah memper-sembahkan yang terbaik bagi Tuhan dan bagi
kemanusiaan. Itu sebabnya Yesus rela berkorban, mengikuti jalan Tuhan yang
menyesakkan. Itu pula yang membuat-Nya dikuasai kemarahan yang menyala-nyala,
kala ibadah hanya sebatas keuntungan materi belaka.
Langkah 1:
Pernah
mendengar istilah Holy Land, tanah
suci atau tanah kudus? Apakah Anda pernah pergi ke sana? Apakah sepulang dari Holy Land Anda merasa lebih holy, lebih suci, atau lebih kudus?
Langkah 2:
§ Apakah Anda pernah membaca iklan tentang Holy Land
yang menjanjikan akan menumbuhkan iman peziarah? Apa komentar Anda tentang
iklan semacam itu?
§ Jika Holy Land membuat manusia menjadi lebih holy
(suci), maka menumbuhkan iman adalah hal yang mudah. Cukup dengan sejumlah
uang dan pergi ke Holy Land Anda akan menjadi pribadi yang lebih suci.
Bagaimana pendapat Anda dengan pernyataan ini?
Langkah 3:
Bacalah
Yohanes 2: 13-22 dengan cermat dan tidak tergesa-gesa, nikmatilah setiap kata
yang disampaikan oleh penginjil.
Bacaan
Injil kita bertutur tentang keadaan di Yerusalem, kota suci itu, saat hari raya
Paska berlangsung! Apa yang Anda bayangkan – mungkin itu juga yang Yesus bayangkan
– keada-an kota suci itu saat perayaan penting berlangsung? Secara imajinatif
kita mungkin membayangkan suasananya seperti “surga.” Orang hiruk pikuk dalam
kekhusukan doa di rumah Allah. Namun apa yang Yesus temukan? Ayat 14
mengatakan: “Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing
domba dan merpati, dan penukar-penukar uang du-duk di situ.” Yesus menemukan
pasar, bukan altar! Kegaduhan perdagangan, bukan gumam doa peribadahan.
Itu
sebabnya refleksi Jean Vanier benar dengan mempertanya-kan realitas Rumah Allah
itu dengan kalimat menohok: “Apa-kah Dunia Hanya Pasar?” Dalam refleksi itu kemarahan
Yesus menjadi mudah kita pahami. Dengan melihat realitas Bait Allah, pusat
kehidupan iman saat itu, dunia telah menjadi pasar. Bagaimana tidak? Jika pusat
iman saja berjibaku mencari keuntungan materi dan kekuasaan, bagaimana dengan dunia
ini? Kehidupan telah dinilai dan diukur dengan transaksi berbasis keuntungan.
Dalam dunia pasar, yang dikejar
manusia adalah: Kekuasaan, kekayaan, dan kemasyuran. Persaingan dilakukan
dengan keras bahkan kejam, homo homini lupus. Menariknya persaingan ini
juga merambahi dunia spiritual, termasuk gereja! Kedudukan sebagai ketua di
lembaga keagamaan yang dianggap bergengsi telah menjadi perebutan yang jauh
dari nilai kristiani. Mereka yang jago lobi, mau berbagi kursi, berjanji memberikan
jatah dukungan finansial, bahkan sudah memberikan sejumlah uang (dengan
embel-embel: uang transport, uang rapat, dan lain-lain) seringkali lebih mudah
mendapatkan kursi ketua. Soal integritas, kompetensi, apalagi spiritualitas tak
lagi menjadi persoalan. Dunia telah menjadi pasar! Hal ini makin meneguh-kan
apa yang disebut dengan homo economicus, ekonomi yang mengatur kehidupan.
Cara beragama pun sarat dengan
cara berpikir semacam itu. Banyak orang keluar dari gerejanya dengan
mengatakan, “Di sini saya enggak mendapat apa-apa. Liturginya
membosankan, khotbahnya tidak menarik.” Tentu perasaan ini tidak keliru dan
harus mendapat perhatian dari pemimpin jemaat. Tetapi perha-tikan baik kata
kuncinya “enggak mendapat apa-apa” menun-jukkan betapa cara pikir transaksional
telah menguasai kehi-dupan iman kita. Pula keluhan tidak diperhatikan, tidak dikun-jungi
saat sakit padahal sudah memberikan persembahan, dan sebagainya menunjukkan
paradigma transaksional telah menguasai hidup beragama kita.
Sekali
lagi ini bukanlah berarti kita tidak boleh kritis terhadap realitas. Sebaliknya
kita harus kritis dengan cara mempersem-bahkan hidup bagi komunitas agar
kebaikan bagi semua terjadi. Kemarahan Yesus menunjukkan Ia kritis. Kemarahan
Yesus pasti mengundang antipasi bahkan kebencian dari mereka yang kehilangan
keuntungan finansial. Dalam Injil dikatakan, “Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka
semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang
penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya” (Yoh 2:15).
Kemarahan Yesus semacam ini hanya kita temukan dalam cerita ini. Inilah cara
Yesus mempersembahkan diri hingga rela dibenci,
untuk kemudian menanggung derita dan mati, demi nilai yang diperjuangkan-Nya. Nilai itu berangkat dari ketaatan kepada Bapa dan
kecintaan pada sesama.
Apakah Yesus membenci kekayaan?
Tidak! Yesus tidak anti kekayaan. Ia tidak membenci Zakeus, orang kaya hasil
memu-ngut cukai rakyat. Ia mengasihi orang muda yang kaya. Tetapi bagi Yesus kekayaan
bukanlah tujuan. Kekayaan adalah alat yang dipakai untuk melakukan kehendak
Allah. inilah yang dimaksud dengan pernyataan hidup adalah altar. Karena hidup
adalah altar, maka hidup berarti mempersembahkan yang terbaik dari diri kita
bagi Tuhan dan sesama. Hidup sebagai altar tidak meletakkan keuntungan sebagai
dasar, melainkan kesediaan untuk berbagi.
Di sini kita menemukan, bahwa
bukan materinya (atau kekaya-annya) yang salah. Materi pada dirinya sendiri
netral, benda biasa. Tetapi motivasi manusia yang mengubahnya. Itulah sebabnya
Yesus mengatakan: “rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” Bagi Yesus bukan
soal jualannya, tetapi – dalam Bahasa Injil lain – rumah doa telah berubah
menjadi rumah penyamun.
Itulah
sebabnya, Yesus mengajak para pendengar berefleksi tentang keberadaan apa yang
kerap dianggap Bait Allah. kata Yesus, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga
hari Aku akan mendirikannya kembali” (ay. 19). Ayat 21 kemudian memberi-kan
penjelasan maksud perkataan Yesus itu: “Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait
Allah ialah Tubuh-Nya sendiri.” Itu berarti Yesus mengajak kita untuk mengubah
makna Bait Allah, dari sekadar sebuah tempat yang mati menjadi tempat yang
hidup. Dari yang struktural menjadi fungsional. Hal ini ditegaskan kembali oleh
Yesus dalam Yoh 4:24 “Allah itu Roh
dan barangsiapa menyembah Dia,
harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” Dengan menyatakan itu, bagi Yesus
tidak ada sebuah tempat yang disebut Bait Allah, rumah Allah, atau Holy Land.
Sebab semua tempat, setiap jengkal adalah rumah Allah. Tidak ada tempat yang
kudus, yang ada adalah kehidupan yang kudus. Kekudusan bukan pada
lokasi, tetapi pada cara hidup. Cara hidup yang dimaksud adalah mempersembahkan
diri karena ketaatan kepada Allah dan kecintaan pada semasa.
Langkah 4:
Apakah Anda melihat kehidupan
transaksional pada kehidupan orang beragama saat ini? Apakah gereja juga
dikuasai oleh pasar? Bagaimana menghidupkan semangat altar dalam kehi-dupan
bergereja?
Langkah 5:
Ada kisah seorang perempuan
bernama Oseola McCarty. Ia hidup bekerja keras dengan menjadi pembantu rumah tangga.
Prinsip hidupnya adalah menabung berapapun yang ia dapatkan. Alhasil di hari
tuanya ia berhasil mengumpulkan uang sebanyak US $ 150.000. Uang sebanyak itu kemudian
disumbangkan untuk menunjang pendidikan kaum muda di University of Southern Mississippi.
Contoh hidup
di atas menunjukkan bahwa cara berpikir altar masih ada di sekitar kita. Bagaimana dengan Anda?